Begini Pandangan Uzuan F Marpaung Soal Kasus Pagar Laut di Perairan Tangerang
Trans7News, JAKARTA – Kasus pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di perairan Kabupaten Tangerang, Banten, yang juga dilengkapi dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB), memunculkan banyak perdebatan, terutama dalam perspektif politik dan hukum. Kasus ini melibatkan isu hak atas lahan, peraturan perundang-undangan, serta kepentingan antara pihak swasta dan masyarakat atau negara. “Dalam perspektif politik dan hukum, kita bisa melihatnya dari beberapa sudut pandang yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah, hak atas sumber daya alam, dan kepentingan publik.” kata Uzuan F Marpaung Ketua Umum BP3KRI dan juga Advokat yang sedang naik daun di Jakarta (27/1/25).
Dalam konteks hukum, sumber daya alam yang ada di wilayah perairan seharusnya merupakan milik negara dan harus dikelola demi kepentingan publik. Namun, dalam kasus pagar laut ini, adanya Sertifikat HGB menunjukkan bahwa ada hak atas tanah yang diberikan kepada pihak swasta untuk mengelola sebagian wilayah perairan tersebut.
Sebagaimana tercermin dalam Pasal 33 UUD 1945, menekankan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kasus ini menggambarkan ketegangan antara kepentingan publik yang terkait dengan akses masyarakat terhadap sumber daya alam dengan kepentingan pribadi atau bisnis yang terkait dengan hak atas tanah dan keuntungan ekonomi. Bila pemerintah memberikan hak HGB untuk penggunaan perairan yang luas ini, hal ini bisa bertentangan dengan kepentingan masyarakat yang membutuhkan akses terhadap perairan untuk kegiatan ekonomi atau sosial.
Pemberian Sertifikat HGB atas lahan perairan dalam kasus ini menunjukkan adanya kebijakan pemerintah yang mendukung privatisasi atas sebagian besar sumber daya alam. Ini dapat dipandang sebagai politik hukum yang mendukung pihak swasta dalam memperoleh hak penguasaan atas aset-aset yang seharusnya menjadi milik publik atau setidaknya berada di bawah kontrol negara.
“Keputusan pemerintah untuk memberikan Sertifikat HGB ini mungkin mengarah pada privatisasi ruang publik, yang sering kali menimbulkan ketidakadilan sosial jika tidak mempertimbangkan kepentingan masyarakat yang terpengaruh oleh kebijakan tersebut.” jelas Uzuan di kawasan SCBD Jakarta. Dalam hal ini, politik hukum harus berpihak pada penegakan keadilan sosial dan memastikan bahwa penggunaan ruang publik dan sumber daya alam tidak hanya menguntungkan segelintir pihak tetapi juga memberikan manfaat bagi masyarakat secara luas.
Ketika pemerintah memberikan hak HGB untuk proyek pembangunan pagar laut ini, ada kemungkinan bahwa hal tersebut lebih didorong oleh kepentingan bisnis atau investasi ekonomi yang menguntungkan pihak swasta. Padahal, dalam konteks hukum yang lebih luas, keadilan sosial dan keberlanjutan seharusnya menjadi pertimbangan utama.
Dalam perspektif politik hukum, keputusan untuk memberikan hak HGB kepada pihak swasta atas lahan yang secara tradisional dianggap sebagai wilayah publik (perairan) menimbulkan ketidakpastian hukum dan sosial. Ketika sumber daya alam digunakan untuk kepentingan individu atau perusahaan tanpa memperhatikan dampaknya terhadap masyarakat sekitar, ini bisa menciptakan ketimpangan sosial dan merugikan masyarakat yang hidup di sekitar area tersebut. Oleh karena itu, politik hukum yang diharapkan adalah hukum yang berpihak pada keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan.
Pembangunan pagar laut di perairan Kabupaten Tangerang menimbulkan potensi dampak negatif terhadap keberlanjutan lingkungan dan ekosistem perairan. Sebagai bagian dari politik hukum, keberlanjutan lingkungan harus menjadi fokus utama dalam setiap keputusan yang melibatkan sumber daya alam.
Dalam hal ini, Uzuan mengatakan “Hukum harus dapat mendorong adanya regulasi yang memastikan bahwa penggunaan ruang perairan tidak merusak ekosistem laut dan kehidupan masyarakat pesisir. Penegakan hukum lingkungan yang ketat, misalnya dengan memastikan adanya kajian lingkungan hidup sebelum pemberian izin HGB, sangat diperlukan untuk menghindari kerusakan yang lebih parah.”
Pembangunan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer ini mungkin menghalangi akses masyarakat pesisir atau nelayan untuk melakukan aktivitas mereka, seperti menangkap ikan atau mencari sumber daya alam lainnya di laut. Hal ini menjadi isu penting dalam konteks politik hukum yang menuntut adanya akses masyarakat terhadap sumber daya alam yang ada di sekitar mereka.
Dalam politik hukum, aspek keberpihakan pada masyarakat adalah prinsip yang harus diterapkan. Kebijakan hukum harus mengakomodasi hak-hak masyarakat untuk mengakses sumber daya alam, terutama bagi kelompok masyarakat yang bergantung pada laut untuk mata pencaharian mereka. Pemberian hak HGB yang menghalangi akses masyarakat bisa dilihat sebagai tindakan yang tidak adil dan merugikan bagi mereka yang lebih membutuhkan.
Dalam politik hukum, proses pengawasan terhadap kebijakan yang melibatkan sumber daya alam dan hak kepemilikan, seperti kasus pagar laut ini, sangat penting. Akuntabilitas pemerintah dan transparansi dalam pengambilan keputusan hukum harus dijaga agar kebijakan yang diambil benar-benar berpihak pada kepentingan publik. Proses penyusunan kebijakan dan pemberian izin harus dilakukan dengan transparansi dan partisipasi publik, agar tidak terjadi penyelewengan yang merugikan masyarakat luas. Dalam hal ini, politik hukum harus memastikan bahwa setiap kebijakan yang dibuat dalam pengelolaan sumber daya alam dapat dipertanggungjawabkan dan tidak memihak pada kepentingan bisnis atau individu semata.
Kasus pagar laut sepanjang 30,16 kilometer yang dilengkapi dengan Sertifikat HGB ini menunjukkan adanya ketegangan antara kepentingan swasta dengan kepentingan publik dalam pengelolaan sumber daya alam. Dalam perspektif politik hukum, “Keputusan ini dapat dianggap sebagai bentuk privatisasi ruang publik yang seharusnya dikelola oleh negara demi kemakmuran rakyat.” tutup Uzuan dan mengatakan “Hal ini menunjukkan pentingnya keadilan sosial dalam pengelolaan sumber daya alam dan pengambilan kebijakan hukum yang tidak hanya berpihak pada segelintir pihak, tetapi juga memperhatikan hak-hak masyarakat yang terdampak. Oleh karena itu, hukum harus dapat menciptakan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, keberlanjutan lingkungan, dan akses masyarakat terhadap sumber daya alam yang ada di sekitar mereka.” pungkasnya.