Pengacara Gazalba: Hakim Agung Setara Presiden, Minta KPK Tak Arogan
Trans7News, Jakarta – Pengacara Hakim Agung Gazalba Saleh, Dimas Noor Ibrahim meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk tidak bersikap arogan dalam proses penetapan tersangka kliennya.
Dimas menyebut KPK tidak bisa serta merta melakukan proses hukum berdasarkan UU KPK saja.
BMKG Merilis Peringatan Dini Potensi Cuaca Ekstrem di Indonesia
Dia menjelaskan dalam hukum dikenal istilah adresat, subjek hukum diproses berdasarkan hukum terkait.
“Saya rasa KPK juga tidak bisa secara arogan menerapkan UU KPK tersebut tanpa melihat, atau dengan menggunakan kacamata kuda aja,” kata Dimas usai sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (4/1).
“Lex spesialis itu terkadang bertemu juga dengan lex spesialis lainnya,” imbuhnya.
Di Beri Rp 230 M pada Gibran Oleh Pemerintah UEA, untuk Apa?
Lebih lanjut, Dimas menjelaskan dalam konteks perkara ini, adresat berlaku untuk Gazalba sebagai Hakim Agung.
Dia pun memperingatkan kepada KPK bahwa jabatan tersebut setara dengan presiden.
“Ini kan ditujukan kepada Hakim Agung. Hakim Agung ini kan jabatannya setara dengan presiden jadi bagian yudisial, presiden di bagian eksekutif, di mana ada kesetaraan yang dibahas di trias politica, kan?” ujarnya.
“Nah itu harusnya dihargai, apalagi di dalam UU KPK sendiri tidak ada pengecualian yang mengecualikan ketentuan tersebut, terkait dengan penahanan,” imbuhnya.
Dalam sidang praperadilan melawan KPK, pihaknya membawa 7 bukti berupa surat yang diyakininya menguatkan dalil gugatan praperadilan melawan penetapan tersangka terhadap kliennya oleh lembaga antirasuah itu.
Pertama, surat pemeriksaan internal oleh Badan Pengawas MA yang berisi keterangan dua asisten Gazalba bernama Zainal dan Rudy.
“Salah satunya adalah pemeriksaan internal di badan pengawasan di Mahkamah Agung. Di mana di situ sudah jelas terdapat kesaksian dari kedua asistennya (Zainal dan Rudy) bahwa pak Gazalba ini tidak pernah terima (suap) sama sekali di situ,” ujarnya.
Kedua, surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP). Dimas mengaku mempermasalahkan penetapan Gazalba sebagai tersangka sejak SPDP diterbitkan.
“Kita juga menghadirkan SPDP-nya di situ, kita membuktikan bahwa kita justru mempertanyakan kenapa status tersangka ini bisa muncul sejak SPDP dan tidak ada surat penetapan tersangkanya sendiri. Padahal sudah seharusnya penetapan tersangka proses yang paling akhir,” ujarnya.
“Harusnya terdapat kesempatan si calon tersangka ini harus diperiksa terlebih dahulu sehingga mempunyai hak untuk membela diri. Karena kan itukan merupakan suatu hak asasi dan suatu penerapan dari asas praduga tak bersalah,” imbuhnya.
KPK sejauh ini telah menetapkan 13 orang sebagai tersangka terkait kasus dugaan suap pengurusan perkara di MA.
Mereka ialah hakim agung Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh; hakim yustisial sekaligus asisten Gazalba, Prasetio Nugroho; staf Gazalba, Redhy Novarisza; hakim yustisial sekaligus panitera pengganti MA Elly Tri Pangestu.
Kemudian PNS pada Kepaniteraan MA yaitu Desy Yustria dan Muhajir Habibie; PNS MA Nurmanto Akmal dan Albasri; pengacara Yosep Parera dan Eko Suparno; serta Debitur Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana Heryanto Tanaka dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto.
KPK menduga ada uang suap sekitar Sin$202.000 (setara Rp2 miliar) untuk mengurus perkara pidana dan perdata KSP Intidana. Adapun seluruh tersangka sudah ditahan oleh penyidik KPK di Rumah Tahanan Negara (Rutan) berbeda.