Natal, Al Azhar dan Damainya ‘Gereja Sampah’
“Kamu dari mana?”, tanyanya dalam bahasa Arab logat Mesir. “Saya dari Indonesia”, jawabku tersenyum. “Wah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia”, terangnya menyela. “Nama saya Yunan, saya Koptik’, katanya memperkenalkan diri tanpa saya tanya duluan. Dia bercerita tentang kebebasan beribadah bagi umat Kristen Koptik dan hidup damai dengan saudaranya yang muslim. Menurutnya, warga muslim malah melindungi mereka di saat-saat krisis. Di level grassroot, para penganut Kristiani di Mesir menjalani hidup damai dengan tetangganya yang muslim. Bincang ngalor ngidur kami harus terhenti di Sekolah Indonesia Cairo, tempat anak bungsu saya bersekolah pagi itu.
Setiap tahun, Natal diperingati dan dirayakan oleh umat Kristiani termasuk di Mesir. Untuk penganut Kristen Koptik di Mesir, puncak perayaan Natal jatuh pada tanggal 7 Januari. Namun demikian suasana Natal tahun ini tampak meriah dari dua tahun sebelumnya yang masih dicekam pandemi Covid-19. Beberapa hari yang lalu saya dan keluarga ngemall di salah satu daerah padat di Kairo, kemeriahan Natal terasa sekali dengan dekorasi dan pernak pernik Natal yang biasa dijumpai. Umat kristiani dan muslim berbaur menikmati suasana liburan bersama keluarga dan handai tolan. Malahan beberapa wanita muslim berjilbab berfoto di depan pohon Natal dan replika Santa Claus tanpa canggung. Sebagian keluarga muslim bercengkrama pula dengan mereka yang merayakan Natal.
Grand Sheikh Al Azhar dan Human Fraternity
Di Mesir perdebatan mengenai hukum mengucapkan selamat Natal sudah tidak pernah lagi muncul. Al Azhar, salah satu institusi Islam terbesar di Mesir dan Grand Sheikh Al Azhar (Imam Besar Al Azhar) setiap tahun mengucapkan selamat hari Natal, bahkan seringkali mengunjungi gereja atau kediaman pemuka agama Kristen Katolik dan Koptik. Konsep Islam Wasatiyah (Islam Moderat) yang terus menerus digaungkan Al Azhar sebagai metode dan gaya hidup muslim patut diacungi jempol. Al Azhar menekankan bahwa mu’amalah atau interaksi sosial dalam tatanan hidup berbangsa dan bernegara adalah sesuatu yang tidak perlu dibuat rumit. Prinsip untuk hidup damai dan harmonis antar sesama umat manusia adalah sebuah keniscayaan. Peradaban manusia berkembang pesat saat umat manusia hidup damai dan harmonis.
Sebagai Grand Sheikh Al Azhar, Prof. Ahmed Muhammed Aṭ-Ṭayyeb, adalah sosok moderat yang menyebarkan ajaran Islam yang damai dan rahmatan lil ‘alamin. Dalam pandangannya, setiap agama memiliki kecenderungan untuk mengajarkan nilai-nilai yang moderat, memilih jalan tengah, bukan jalan ekstrem, dan tidak berlebihan, sebagai ajaran agama yang paling ideal. Nilai moderasi beragama ini juga merupakan energi yang mendorong pertemuan bersejarah dua tokoh agama besar dunia, Paus Fransiskus dan Imam Besar Al Azhar, Prof. Ahmed At-Tayyeb, pada 4 Februari 2019. Pertemuan itu menghasilkan Abu Dhabi Document of Human Fraternity atau dokumen persaudaraan antar umat manusia, yang di antara pesan-pesan utamanya menekankan bahwa musuh bersama kita saat ini sebenarnya adalah ekstremisme, keinginan untuk saling menghancurkan, perang, intoleransi dan sikap kebencian di antara sesama manusia, semuanya atas nama agama.
Abu Dhabi Document of Human Fraternity, adalah sebuah dokumen yang menyerukan ukhuwah basyariah atau persaudaraan antar umat manusia untuk perdamaian dunia dan hidup harmonis antar umat beragama. Dokumen tersebut mengakui kontribusi berharga dari semua agama dan kepercayaan kepada umat manusia dan menggarisbawahi peran pendidikan dalam mempromosikan toleransi dan menghilangkan diskriminasi berdasarkan agama atau kepercayaan. Dokumen ini memuji semua inisiatif dan upaya internasional, regional, nasional, dan lokal oleh para pemimpin agama untuk mempromosikan dialog antar-agama dan antarbudaya.
Dalam dokumen ini, moderasi beragama adalah bagaimana menghormati nilai-nilai perdamaian, saling pengertian, persaudaraan manusia, keadilan, dan cinta kasih. Setiap orang harus menikmati kebebasan berkeyakinan, berpikir, berekspresi, dan bertindak. Pluralisme dan keragaman agama, warna kulit, jenis kelamin, ras dan bahasa adalah prerogatif Tuhan Yang Maha Esa yang selalu ada hikmah dan kebijaksanaan di dalam semua ciptaan-Nya, dengan atau tanpa kita sadari. Human fraternity atau ukhuwah basyariah adalah landasan universal bagi semua umat manusia agar mencintai sesamanya. Ajaran cinta kasih selalu ada dalam setiap agama, tak terkecuali di Islam dan Kristen.
‘Gereja Sampah’ sebagai Simbol Kedamaian
Gereja Santo Simon atau terkenal dengan Gereja Sampah adalah gereja yang berada di dalam gua batu di Gunung Mokattam, selatan Kairo, Mesir. Menurut beberapa sumber Gereja Santo Simon adalah yang terbesar di Timur Tengah. Yunan, driver Uber yang mengantar kami, tinggal tak jauh dari komplek gereja tersebut, di daerah yang bernama Zabbaleen, yang dalam bahasa Arab artinya pemulung. Dinamakan ”gereja sampah” karena untuk menuju ke sana harus melewati pemukiman kumuh yang dihuni mayoritas pemulung yang menampung sampah di sepanjang jalan pemukiman tersebut. Namun faktanya gereja sampah kontras dengan namanya. Dalam pandangan saya, gereja sampah adalah gereja gua yang megah dan kokoh. Tak kurang dari 3 gereja yang berada di sana, yang populer adalah Gereja Santo Simon.
Awalnya saya tidak menyangka akan menemukan gereja yang ikonik, dengan pahatan-pahatan batu eksotis, yang saya yakini menceritakan sekelumit kisah Yesus dan pengikutnya. Damai, itu kata pertama yang keluar dari mulut saya. Dibanding hiruk pikuk Kairo yang bising, gereja ini membuat siapapun yang berkunjung merasa damai dan tentram. Saya takjub meski penduduk sekitar adalah para pemulung, tapi tak nampak perasaan rendah diri di antara mereka. Rata-rata mereka melayani para pengunjung dengan ramah dan sopan. Tak heran jika para turis betah berlama-lama di sana.
Kedamaian ternyata bisa dimiliki oleh siapapun. Kedamaian adalah soal hati dan rasa, bukan agama. Pemulung sampah bisa jadi lebih hidup damai daripada pejabat atau pengusaha kaya. Menurut saya, gereja sampah adalah simbol perdamaian bagi umat manusia. Ternyata sampah tidak selamanya identik dengan kekumuhan, ketidaknyamanan dan kenistaan. Sampah bisa juga membawa kedamaian. Karena menurut Cicero, seorang senator ulung dari Roma yang hidup di tahun 106-43 sebelum Masehi mengatakan “kedamaian itu adalah kebebasan dalam ketenangan”. Selain karena persaingan kekuasaan di Roma waktu itu, mungkin nilai-nilai kedamaian yang dia bela itulah yang mengantarkannya pada kematian tragis setelah dipenggal kepalanya atas instruksi Mark Anthony, rivalnya di Roma. Namun filosofi peace is liberty in tranquility masih menjadi pesan perdamaian, setidaknya untuk penghujung tahun 2022 ini.
Dr. Rahmat Aming Lasim, M.B.A.
Diplomat dan pemerhati Timur Tengah, tinggal di Kairo, Mesir.
Sumber : detik.com