IDI Kantongi Nama Dokter Pemberi Surat Sakit Online, Ingatkan Sanksi Pidana
Jakarta – Surat sakit online belakangan viral disorot netizen. Banyak yang mempertanyakan ‘keaslian’ surat yang didapat hanya dengan konsultasi online, tanpa pemeriksaan fisik.
Hal semacam itu, menurut Ketua Bidang Hukum Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BHP2A) Ikatan Dokter Indonesia, Dr dr Beni Satria, MH(Kes), SH, MH, jelas berpotensi melanggar hukum. Berdasarkan pasal 35 UU No 29 Tahun 2004, sejumlah ketentuan pemberian surat sakit secara telemedicine tidak didasari serangkaian praktik kedokteran.
Alurnya, kata dia, pasien perlu diwawancara mengenai keluhan gejala yang dirasakan, kemudian dokter memeriksa fisik dan mental pasien. Tidak hanya semata-mata memberikan surat keterangan sakit berdasarkan gejala yang diakui pasien.
“(Contoh) Kalau memang dia mengaku batuk harus stetoskop di paru-paru pasien baik depan maupun belakang. Untuk didengar suara. Termasuk juga misalnya memeriksa kondisi kalau pasien mengaku anemia lemas dokter akan melihat tangannya pucat atau tidak? Bibirnya pucat atau tidak, matanya pucat atau tidak, kemudian pemeriksaan fisik itu akan diminta untuk berdiri, jongkok, berdiri, jongkok,” beber dr Beni dalam konferensi pers Selasa (27/12/2022).
”Kalau bisa beraktivitas tentu menjadi kategori sakit yang tidak membutuhkan istirahat lama. Ketika menentukan pemeriksaan penunjang contohnya dokter akan menganjurkan pasien cek lab dulu, periksa ke lab, semuanya diperiksa sesuai dengan wawancara pasien,” sambung dia.
Intinya adalah, ada verifikasi kondisi klinis dengan keluhan pasien yang dialami di awal datang. Tentu, hal ini juga mendasari keselamatan klinis pasien. Jika batuk berdahak, contoh Beni, ada pemeriksaan kemungkinan CT scan melihat gambaran paru-paru hingga akhirnya ditentukan diagnosis.
Prosesnya, jelas tidak semudah itu. Terakhir, di tahap diagnosis pasien, dokter bisa memberikan rekomendasi apakah dianjurkan rawat inap atau berobat jalan dan hanya perlu istirahat. Barulah setelahnya, diberikan resep termasuk menjelaskan efek samping obat.
”Adapun dokter menerima pasien dan dia melihat kondisi membutuhkan istirahat maka untuk cara mengeluarkan surat keterangan untuk agar yang bersangkutan beristirahat. Jadi bukan diminta kebanyakan memang di lapangan saya juga berpraktek pasien masih bisa melakukan aktivitas,” pesan dia.
IDI Bisa Beri Sanksi?
Jika terbukti melakukan pelanggaran dalam kewenangan memberi surat sakit ‘palsu’, ancamannya tidak hanya untuk dokter melainkan pasien. Temuan awal IDI, kata Benny, dokter bermitra dengan layanan viral itu merupakan anggotanya.
Kemungkinan besar bisa diberikan sanksi etik. ”Surat izin praktik (SIP) ketentuan pemerintah melalui Dinas Kesehatan kalau sudah dapat kalau pelanggaran berat tentu Dinas Kesehatan atau dinas terkait menindaklanjuti itu agar SIP-nya dicabut.
”(IDI) mengkaji pelanggaran etik berat, tapi kalau berdasarkan bukti apakah sudah sering dilakukan? Atau baru pertama kali dilakukan? Itu jadi pertimbangan apakah yang bersangkutan tahu regulasi, ketidaktahuan, atau tahu tentu itu yang nanti akan jadi dasar untuk menentukan ringan sedang atau berat (sanksi).”
”Tentu kalau hanya pelanggaran ringan kesimpulan dari etik itu yang nanti akan dilakukan pembinaan dan dari organisasi profesi dalam bentuk mengikuti seminar atau membuat tulisan tentang terkait pelanggaran hukum yang dilakukan bersangkutan, jadi tergantung terkait izinnya atau tergantung dengan pelanggaran yang dilakukan,” sambung dia.
4 Tahun Penjara
Ketua Bidang Hukum Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BHP2A) IDI, Dr dr Beni Satria, MH(Kes), SH, MH, menyebut oknum dokter dan pasien yang terbukti melanggar hukum bisa dikenakan pidana.
“Dan jika dipergunakan lalu merugikan pihak tertentu, oknum dokter dan pasien bisa diancam 4 tahun penjara dan juga melanggar kode etik kedokteran,” ujar dr Beni.
Idealnya, secara aturan, permintaan surat sakit dari pasien tidak dibenarkan. Ada risiko pelanggaran etik di balik pemberiannya tanpa ketentuan klinis, termasuk berapa lama pasien diberikan atau direkomendasikan waktu untuk istirahat.
”Mengenai berapa lama hari yang diberikan oleh dokter kepada pasien itu mutlak keputusan seorang dokter. Contoh, kalau pasien hanya pusing mual masuk angin 3 hari maksimal, mungkin cukup dan silakan dia kontrol kembali setelah habis dan masih membutuhkan istirahat. Nanti dokter akan memeriksa lagi, baru dia boleh memperpanjang atau menambahkan kembali surat keterangan sakit agar yang bersangkutan betul-betul total beristirahat untuk pemulihan,” katanya.
Beni menekankan pemberian surat sakit ditunjukkan dengan kondisi pasien bersangkutan, bukan berdasarkan kebutuhan dirinya untuk menghindari pekerjaan dan hal lain.
”Kan kita tidak mungkin karena nakalnya pengen cuti ingin liburan ingin menambah imun karena tidak masuk satu hari minta surat sakit. Saya sampaikan hati-hati karena dalam kode etik kedokteran pasal 7 ada ketentuan yang mengatur,” pungkas dia.
Sumber : detik.com